Saya Avv (Hey, bukan sebuah merk mobil ya.. ini hanya nama samaran untuk menyebutkan inisial aja kok..), seorang gadis berumur 31 tahun. Saat ini saya sedang menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang berumur jauh di bawah saya, Bagi saya itu tidak masalah asalkan Bunda merestui hubungan kami. Perbedaan umur yang begitu signifikan antara saya dan pacar bukanlah suatu kendala. Saya pernah mengalami suatu kejadian dan dari situlah saya bisa mengambil sebuah pelajaran apa yang sebenarnya paling penting untuk dipermasalahkan dalam suatu hubungan. Karena subuah kisah yang pernah saya lalui, sekarang saya benar-benar menjunjung tinggi restu bunda untuk anak-anaknya…
Semuanya bermula ketika saya berumur 26 tahun, seorang teman mengenalkan sesososk pria mapan yang bekerja sebagai aparat negara kepada saya. Dan kebetulan pria ini serius sedang mencari istri untuk kedua kalinya, punten, bukan istri muda lho ya… Tetapi istri kedua setelah almarhumah istri pertamanya. Ya... pria ini adalah seorang duda karena istrinya mendahului menghadap tuhan YME. Dalam pernikahan yang pertama, dia diberi 2 orang anak yang lucu-lucu. Dia seorang yang dewasa (Ya iyalah, lha wong udah bisa bikin anak kok, malahan dua lagi … halah gubrak!..), Sosok suami mapan, dan sempurna dimata saya. Denganya hari-hari pun serasa sempurna. Dan pernikahan pun sudah kami rencanakan sematang dan sedetail mungkin.
Tetapi mimpi indah itu terhalang oleh persetujuan dari orang tua saya, mereka menentang saya habis-habisan hanya karena 2 orang anak yang lucu-lucu itu. Bagi saya menjadi seorang ibu tiri bukanlah sebuah aib atau beban (ibu tiri kejam itu kan hanya cerita sinetron kaleee…). Tapi adalah anugrah karena dikaruniai 2 orang anak yang lucu...
Apapun penjelasan saya kepada orang tua tidak ada yang diterima dengan akal sehat. Bahkan orang tua sampai mengultimatum dan memberikan keputusan kepada saya agar memilih salah satu, antara orang tua atau kekasih saya.
Saya bingung, galau dengan ultimatum dari orang tua saya. Di satu sisi saya adalah darah daging mereka, tapi di sisi lain saya akan menjalani hidup selanjutnya kelak dengan calon suami saya. Dengan pendirian teguh akhirnya saya memilih kekasih saya, cinta saya terhadapnya sudah benar-benar merasuk kedalam darah dan menggerogoti tulang (Kayak Oestoporosis yak hehe..). saya menganggap dia adalah masa depan saya, That’s better choice for my future. Dan demi kesombongan saya tersebut, saya rela diusir oleh orang tua, bahkan tidak dianggap lagi untuk mewarisi darah dan genetika dari tubuh mereka (Wah ngomongya berat bener kayak pelajaran biologi, Pusing saya…).
Hari-hari saya jalani tanpa menyandang gelar anak dari kedua orang tua saya, saya merasa benar dengan keputusan saya, karena saya sangat bahagia dengan kekasih saya yang kelak sebentar lagi menjadi suami saya. Banyak teman-teman yang memberi saya masukan tentang calon suami saya tersebut. Tetapi semua hanyalah angin yang sekedar lewat dan mengibas beberapa helai rambut saya.
Sampai suatu hari saya mendengar kabar bahwa bunda sedang terbaring sakit karena memikirkan saya. Kembali saya bingung, saya ingin menjenguknya sebagai seorang anak, tapi saya takut ayah pasti murka begitu melihat saya muncul di hadapanya. Akhirnya lewat beberapa orang teman beliau berpesan “Avv, kamu tidak boleh terlalu naïf memandang suatu persoalan dari sebelah mata, apalagi kamu sudah dibutakan oleh cinta. (Lha kalo udah buta ya kagak bisa nglihat lagi donk mbakyu, yang ada hanya ngeraba-raba. Kalo sekedar ngeraba-raba siapa yang akan ngejamin bahwa hal itu bener dan bisa dijadikan pegangan! Betul kan pembaca yang budiman?? Cieh… Berlagak sok diplomatis banget saya..). Pandanglah persoalan ini dari sudut kacamata yang berbeda, Niscaya kamu akan melihat suatu kebenaran yang lain karena kamu dapat melihat dengan lebih sempurna. Bunda hanya mengingatkan bahwa didunia ini tidak ada orang tua yang ingin anaknya menderita dan masuk kedalam jurang kegelapan”
Tiba-tiba saya merasa lunglai, bimbang dengan keputusan yang saya buat. Saya coba bertahan walaupun keraguan mulai menggerogoti pertahanan di hati.
Tak lama setelah kabar bahwa bunda jatuh sakit, saya mulai merasa ada yang tidak beres dengan kekasih saya. Beberapa teman saya ada yang pernah mengadu melihat dia jalan dengan wanita lain. Saya mulai percaya dan cerita itu mulai mempengaruhi saya. Sampai akhirnya ketika saya berumur 28 tahun, umur yang sangat rawan bagi seorang wanita untuk segera dinikahi. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, dia sedang bersama seorang perempuan yang sama sekali tidak pantas disebut wanita baik-baik. Dari penampilanya pun saya bisa menilai wanita macam apa yang dibawa oleh kekasih saya.
Saya mulai kalut, dalam ketidakpastian itu saya mencoba membicarakan secara baik-baik denganya. Sebelum saya sempat mengutarakan niat saya, secara tidak sengaja saya menemukan foto wanita lain di dompetnya. (Dan Foto wanita lain itu bukan Foto istrinya lho… Whaduh, bener-bener …)
Saat itu juga saya langsung meninggalkan dia dan berlutut di depan orang tua agar bisa diterima kembali di keluarga. Saya menangis menyesali kebodohan yang pernah saya lakukan. Saya mulai stuck dan tidak pernah terbersitpun untuk mencicipi rasa cinta itu kembali.
Dari sebuah kisah tersebut Saya mengambil sebuah pelajaran berharga yang selalu saya tanamkan pada semua wanita yang pernah saya kenal.. Sebagai seorang wanita, jangan pernah memberikan cinta kita 100% pada seorang lelaki, meskipun dia pernah berjanji untuk menikahi kita sekalipun. Dan jangan pernah meremehkan nasihat bunda yang tidak masuk akal sekalipun, karena Raga yang kita miliki ini tak lain adalah bagian kecil dari raga sang bunda…
Bolehlah kita mencintai seseorang (Gratis malahan hehe..) Tapi jauh diatas segalanya cinta sang bunda adalah cinta yang paling tulus dalam kehidupan di dunia ini…
*By inisial Avv, 31 tahun.
Diceritakan kembali oleh Aiya Chan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar